Tarian Berdarah Maluku Tengah - Idul
Fitri memang telah terlampaui. Para pemudik pun telah kembali menjalani
rutinitasnya, terutama yang bekerja ataupun berbisnis di kota besar
seperti Jakarta. Di beberapa daerah malah ada tradisi yang berlangsung
usai lebaran ini.
Salah satu yang unik adalah
tradisi yang ada di Maluku Tengah. Biasanya dilangsungkan di desa Mamala
dan Morela, Kecamatan Leihitu Pulau Ambon. Di sini, ribuan warga di
sana akan menyaksikan tradisi Pukul Sapu. Berlangsung setiap 8 Syawal,
tradisi ini dilakukan oleh sekumpulan pemuda bertelanjang dada.
Mereka kemudian dibagi dalam dua
kelompok yang akan berlawanan. Satu kelompok bercelana putih, yang lain
bercelana merah. Berikat kepala sewarna dengan celana masing-masing
menggenggam sapu lidi dari pohon enau yang masih segar. Mereka berdiri
saling berhadapan.
Para pemuda saling pukul dengan
mengunakan batang lidi saat mengikuti ritual adat Pukul Sapu di Desa
Mamala, Kecamatan Leihitu, Pulau Ambon, Maluku Tengah, Maluku, Jumat
(17/9). Ritual asal pukul sapu merupakan salah satu event pariwisata
yang menyedot perhatian ribuan masyarakat dan digelar setiap 8 syawal
setelah Idul Fitri. [ANTARA/Jimmy Ayal]
Lalu, suara seruling mengalun.
Agaknya ini sebuah aba-aba, dua kelompok pemuda itu bergantian menyabut
sapu ditangannya ke tubuh lawan tariannya. Di mulai oleh kelompok
bercelana merah memukul pemuda bercelana putih, kemudian gentian si
celana putih yang berbuat sebaliknya. Mereka hanya boleh memukul dari
dada hingga perut saja.
Suara sabetan sapu yang mirip
lecutan cambuk menerpa itu itu diramaikan dengan suara gendang yang
bertalu-talu. Tak urung, diwarnai darah segar para penarinya. Jangan
harap akan mendengar jerit kesakitan dari si penari ini.
Usai tarian, masyarakat Morela
mengobati luka di tubuh para pemuda itu dengan menggosokan getak pohon
jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak Nyualaing Matetu yang juga
disebut minyak Tasala. Konon, minyak ini mujarab untuk mengobati patah
tulang dan luka memar.
Penemunya adalah Imam Tuni,
seorang tokoh agama pada adab XVII. Saat warga Mamala sedang membangun
masjid yang selesai dibangun pada 8 Syawal setelah Idul Fitri. Ini
dianggap sebuah keberhasilan, dan mereka merayakannya dengan tradisi
Pukul Sapu.
Selain itu, riwayat tradisi
Pukul Sapu ini ada yang mengaitkannya dengan Kapitan Tulukabessy yang
angkat senjata menentang penjajahan Portugis dan Belanda pada abad ke
16. Itulah sebabnya, warga di sana meyakini tarian Pukul Sapu tak akan
menanam permusuhan, sebaliknya akan mempererat tali peraudaraan dan
silaturrahmi.
Lain lagi tradisi di Magelang,
Jawa Tengah. Di sini ada komunitas seniman petani Lereng Gunung Merapi.
Sejumlah pemuda, usai shalat Idul Fitri memasuki halaman Padepokan
Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Dukun, Magelang, yang berada
lereng barat Gunung Merapi.
Mengenakan pakaian adat Jawa,
berupa kain bebet, surjan dan blangkon, mereka duduk bersila di depan
gamelan. Lalu mereka menabuhnya. Ini disebut sebagai tradisi ritual
sejak 1950, yang dilaksanan setiap 1 Syawal. Ini adalah tradisi warisan
pendiri padepokan, Romo Yoso Sudharmo. Ritual ini sebagai persembahan
doa untuk leluhur mereka.
Sedangkan di Banyuwangi, ada
perayaan adat bernama Seblang, ini adalah tarian yang diiringi gamelan
dan gending. Tarian ini sangat kental dengan nuansa mistiknya. Sebab,
disebut-sebut si penari beraksi tanpa sadar dan dikendalikan roh halus.
Seblang ini dianggap sebahai wujud rasa sukur atas rezeki yang melimpah
bagi mereka, dan juga sebagai bentuk penolak bala.
Seorang penari seblang Suidah
(14) menari dalam upacara bersih desa di Desa Olehsari, Glagah,
Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (13/9). Tari Seblang merupakan tarian
untuk menolak bala, dimainkan oleh wanita muda selama 7 hari
berturut-turut yang diiringi gamelan dan 28 gending atau lagu yang
dinyanyikan sinden. [ANTARA/Seno S.]
Seblang yang dilaksanakan
setelah Idul Fitri disebut Seblang Olehsari. Berlangsung selama tujuh
hari berturut-turut. Ada satu Seblang yang disebut Seblang Bakungan
dilaksanakan semalam suntuk pada pecan kedua bulan Julhijah, yakni pada
Hari Raya Idul Adha.
Selain ritual adat di
masing-masing daerah yang memiliki kekhasannya itu, secara umum yang
paling dikenal adalah tradisi halal bi halal. Ini dilaksanakan di
seluruh daerah di negeri ini. Ini tradisi saling meminta dan memberi
maaf satu sama lain.
Menurut Dr. Quraish Shihab,
halal-bihalal adalah kata majemuk dari dua kata bahasa Arab, yaitu
halala yang diapit satu kata penghubung “ba”. Kendati demikian,
masyarakat Arab tidak mengenal tradisi halal-bihalal. Bahkan istilah ini
juga tak ditemukan di zaman nabi.
Belakangan ada yang mengaitkan
kebiasan ini dengan kebiasaan di Keraton Surakarta, Jawa Tengah yang
dirintis Mangkunegara I yang akrab disebut Pangeran Sambernyawa. Tradisi
ini muncul untuk menghemat waktu pertemuan raja dengan punggawa serta
prajuritnya. Kemudian menjalar ke beragai organisasi Islam, dan instansi
pemerintah maupun swasta.
Terlepas dari berbagai sumber
utama tradisi itu, yang terpenting perayaannya bermakna cukup penting,
yakni menjalin persaudaraan.
Sumber: http://mrcoppas.blogspot.com/2011/10/tarian-berdarah-maluku-tengah.html